Syeikh Abdush Shamad al-Falimbani
Dalam percaturan intelektualisme Islam Nusantara –atau biasa juga
disebut dunia Melayu– khususnya di era abad 18 M, peran dan kiprah Syeikh Abdush Shamad Al-Palimbani
tak bisa dianggap kecil. Syeikh Al-Palimbani, demikian biasa ia disebut
banyak kalangan, merupakan salah satu kunci pembuka dan pelopor
perkembangan intelektualisme Nusantara. Ketokohannya melengkapi
nama-nama ulama dan intelektual berpengaruh seangkatannya semisal Al-Raniri, Al-Banjari, Hamzah Fansuri, Yusuf Al-Maqassari, dan masih banyak lainnya.
Dalam deretan nama-nama tersebut itulah, posisi Syeikh Al-Palimbani
menjadi amat sentral berkaitan dengan dinamika Islam. Malah, sebagian
sejarahwan, seperti Azyumardi Azra, menilai Al-Palimbani sebagai sosok
yang memiliki kontribusi penting bagi pertumbuhan Islam di dunia Melayu.
Ia bahkan juga bersaham besar bagi nama Islam di Nusantara berkaitan
kiprah dan kontribusi intelektualitasnya di dunia Arab, khususnya semasa
ia menimba ilmu di Mekkah.
Riwayat hidup Abdush Shamad al-Palimbani sangat sedikit diketahui. la
sendiri hampir tidak pernah menceritakan tentang dirinya, selain tempat
dan tanggal yang dia cantumkan setiap selesai menulis sebuah kitab.
Seperti yang pernah ditelusuri M. Chatib Quzwain dan juga Hawash
Abdullah, satu-satunya yang menginformasikan tentang dirinya hanya Al-Tarikh Salasilah Negeri Kendah (di Malaysia) yang ditulis Hassan bin Tok Kerani Mohammad Arsyad pada 1968.
Sumber ini menyebutkan, Abdush Shamad adalah putra Syekh Abdul Jalil bin Syekh Abdul Wahhab bin Syekh Ahmad al-Mahdani (ada yang mengatakan al-Mahdali), seorang ulama keturunan Arab (Yaman) yang diangkat menjadi Mufti negeri Kedah pada awal abad ke-18. Sementara ibunya, Radin Ranti
adalah seorang wanita Palembang. Syekh Abdul Jalil adalah ulama besar
sufi yang menjadi guru agama di Palembang, tidak dijelaskan latar
belakang kedatangannya ke Palembang. Diperkirakan hanya bagian dari
pengembaraannya dalam upaya menyiarkan Islam sebagaimana banyak
dilakukan oleh warga Arab lainnya pada waktu itu.
Tetapi selain sumber tersebut, Azyu-mardi Azra juga mendapatkan
informasi mengenai dirinya dalam kamus-kamus biografi Arab yang
menunjukkan bahwa Al-Palimbani mempunyai karir terhormat di Timur Tengah.
Menurut Azra, informasi ini merupakan temuan penting sebab tidak
pernah ada sebelumnya riwayat-riwayat mengenai ulama Melayu-lndonesia
ditulis dalam kamus biografi Arab. Dalam literatur Arab, Al-Palimbani
dikenal dengan nama Sayyid Abdush Shamad bin Abdur Rahman al-Jawi.
Tokoh ini, menurut Azra, bisa dipercaya adalah Al-Palimbani karena
gambaran karirnya hampir seluruhnya merupakan gambaran karir Abdush
Shamad al-Palimbani yang diberitakan sumber-sumber lain.
Sejauh yang tercatat dalam sejarah, memang ada tiga versi nama
yang dikaitkan dengan nama lengkap Al-Palimbani. Yang pertama, seperti
dilansir Ensiklopedia Islam, ia bernama lengkap Abdus Shamad Al-Jawi
Al-Palimbani. Versi kedua, merujuk pada sumber-sumber Melayu,
sebagaimana dikutip Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Ulama Timur
Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Mizan: 1994), ulama
besar ini memiliki nama asli Abdus Shamad bin Abdullah Al-Jawi
Al-Palimbani. Sementara versi terakhir, tulis Rektor UIN Jakarta itu,
bahwa bila merujuk pada sumber-sumber Arab, maka Syeikh Al-Palimbani
bernama lengkap Sayyid Abdus Al-Shamad bin Abdurrahman Al-Jawi.
Dalam pengembaraan putra mahkota Kedah, Tengku Muhammad Jiwa
ke Palembang, ia bertemu dengan Syekh Abdul Jalil dan berguru padanya,
bahkan mengikutinya mengembara ke berbagai negeri sampai ke India. Dalam
sebuah perjalanan mereka, Tengku Muhammad Jiwa mendapat kabar bahwa
Sultan Kedah telah mangkat.
Tengku Muhammad Jiwa lalu mengajak gurunya itu (Syekh Abdul Jalil)
pulang bersamanya ke negeri Kedah. Ia dinobatkan menjadi sultan pada
tahun 1112 H/1700 M dan Syekh Abdul Jalil diangkat menjadi mufti Kedah dan dinikahkan dengan Wan Zainab, putri Dato’ Sri Maharaja Dewa, Sultan Kedah.
Tiga tahun kemudian Syekh Abdul Jalill kembali ke Palembang karena
permintaan beberapa muridnya yang rindu padanya. Di Palembang ia menikah
dengan Radin Ranti dan memperoleh putra, Abdush Shamad. Dengan demikian kemungkinan Abdush Shamad lahir tahun 1116 H/1704 M.
Sumber yang menyebutkan silsilahnya sebagai keturunan Arab tidak
pernah dikonfirmasikan oleh Al-Palimbani sendiri. Jika keterangan sumber
tersebut benar, tentu Al-Palimbani akan mencantumkan nama besar
al-Mahdani pada akhir namanya. Ini dapat dilihat dari setiap tulisannya,
ia menyebut dirinya Syekh Abdush Shamad al-Jawi al-Palimbani.
Kemungkinan dalam dirinya memang mengalir darah Arab tetapi silsilah itu
tidak begitu jelas atau ada mata rantai yang tidak bersambung menurut
garis keturunan bapak sehingga dia tidak merasa berhak menyebut dirinya
keturunan al-Mahdani dari Yaman. Dan barangkali dia lebih merasa sebagai
orang Indonesia sehingga mencantumkan ‘al-Jawi‘ dan ‘al-Palimbani‘ di ujung namanya.
Al-Palimbani mengawali pendidikannya di Kedah dan Pattani
(Thailand Selatan). Tidak ada penjelasan kapan dia berangkat ke Makkah
melanjutkan pendidikannya. Kemungkinan besar setelah ia menginjak dewasa
dan mendapat pendidikan agama yang cukup di negeri Melayu itu. Dan
agaknya sebelum ke Makkah dia telah mempelajari kitab-kitab para sufi (tasawuf) Aceh, karena di dalam Sayr al-Salikin dia menyebutkan nama Syamsuddin al-Samatrani dan Abdul Rauf al-Jawi al-Fansuri (Abdul Rauf Singkel).
Namun sumber lain mengatakan bahwa ia pernah bertemu dan berguru pada
Syamsuddin al-Samatrani dan Abdul Rauf Singkel di Makkah.
Di Makkah dan Madinah, Al-Palimbani banyak mempelajari
berbagai disiplin ilmu kepada ulama-ulama besar masa itu serta para
ulama yang berkunjung ke sana. Walaupun pendidikannya sangat tuntas
mengingat ragam ulama tempatnya belajar, Al-Palimbani mempunyai
kecenderungan pada tasawuf. Karena itu, di samping belajar tasawuf di
Masjidil-Haram, ia juga mencari guru lain dan membaca kitab-kitab
tasawuf yang tidak diajarkan di sana. Dari Syekh Abdur Rahman bin Abdul ‘Aziz al-Magribi dia belajar kitab Al-Tuhfatul Mursalah (Anugerah yang Diberikan) karangan Muhammad Fadlullah al-Burhanpuri (w. 1030 H/1620 M). Dari Syekh Muhammad bin Abdul Karim al-Samman al-Madani (w. 1190 H/1776 M) ia belajar kitab tauhid (suluk) Syekh Mustafa al-Bakri (w. 1162 H/1749 M). Dan bersama Muhammad Arsyad al-Banjari, Abdul Wahab Bugis dan Abdul-Rahman Masri Al-Batawi
dari Jakarta, mereka membentuk empat serangkai yang sama-sama menuntut
ilmu di Makkah dan belajar tarekat di Madinah kepada Syekh Muhammad
al-Samman (w. 1162 H/1749 M), juga bersama-sama dengan Dawud Al-Fatani dari Patani, Thailand Selatan.
Selama belajar pada Syekh Muhammad al-Samman, Al-Palimbani
dipercaya mengajar rnurid-murid Al-Sammani yang asli orang Arab. Karena
itu sepanjarig menyangkut kepatuhannya pada tarekat, Al-Palimbani banyak
dipengaruhi Al-Sammani dan dari dialah Al-Palimbani mengambil tarekat Khalwatiyyah dan Sammaniyyah.
Sebaliknya, melalui Al-Palimbani-lah tarekat Sammaniyyah mendapat lahan
subur dan berkembang tidak hanya di Palembang tetapi juga di bagian
lain wilayah Nusantara bahkan di Thailand, Malaysia, Singapura dan
Filipina. Beberapa orang guru yang masyhur dan berandil besar dalam
proses peningkatan intelektualitas dan spiritualitasnya antara lain Muhammad bin Abdul Karim Al-Sammani, Muhammad bin Sulayman Al-Kurdi, dan Abdul Al-Mun’im Al-Damanhuri. Juga tercatat ulama besar Ibrahim Al-Rais, Muhammad Murad, Muhammad Al-Jawhari, dan Athaullah Al-Mashri.
Al-Palimbani rnemantapkan karirnya di Haramayn (Mekkah dan Madinah)
dan mencurahkan waktunya untuk menulis dan mengajar. Meski demikian dia
tetap menaruh perhatian yang besar terhadap Islam dan kaum Muslimun di
negeri asalnya. Di Haramayn ia terlibat dalam ‘komunitas Jawi’ yang
membuatnya tetap tanggap terhadap perkembangan sosio-religius dan
politik di Nusantara. Peran pentingnya tidak hanya karena
keterlibatannya dalam jaringan ulama, melainkan lebih penting lagi
karena tulisan-tulisannya yang tidak hanya menyebarkan ajaran-ajaran
sufisme tetapi juga menghimbau kaum Muslimun melancarkan jihad melawan
kolonialis Eropa, dibaca secara luas di wilayah Melayu-lndonesia.
Peranan dan perhatian tersebut memantapkannya sebagai ulama asal
Palembang yang paling menonjol dan paling berpengaruh melalui
karya-karyanya.
Al-Palimbani berperan aktif dalam memecahkan dua persoalan pokok yang
saat itu dihadapi bangsa dan tanah airnya, baik di kesultanan Palembang
maupun di kepulauan Nusantara pada umumnya, yaitu menyangkut dakwah
Islamiyah dan kolonialisme Barat. Mengenai dakwah Islam, ia menulis selain dua kitab tersebut di atas, yang menggabungkan mistisisme dengan syariat, ia juga menulis Tuhfah al-Ragibtn ft Sayan Haqfqah Iman al-Mukmin wa Ma Yafsiduhu fi Riddah al-Murtadin (1188).
Di mana ia memperingatkan pembaca agar tidak tersesat oleh berbagai
paham yang menyimpang dari Islam seperti ajaran tasawuf yang mengabaikan
syariat, tradisi menyanggar (memberi sesajen) dan paham wujudiyah
muthid yang sedang marak pada waktu itu. Drewes rnenyimpulkan bahwa
kitab ini ditulis atas permintaan sultan Palembang, Najmuddin,
atau putranya Bahauddin karena di awal kitab itu ia memang menyebutkan
bahwa ia diminta seorang pembesar pada waktu itu untuk menulis kitab
tersebut.
Mengenai kolonialisme Barat, Al-Palimbani menulis kitab Nasihah al-Muslimin wa tazkirah al-Mu’min fi Fadail Jihad ti Sabilillah,
dalam bahasa Arab, untuk menggugah semangat jihad umat Islam sedunia.
Tulisannya ini sangat berpengaruh pada perjuangan kaum Muslimun dalam
melawan penjajahan Belanda, baik di Palembang maupun di daerah-daerah
lainnya. Hikayat Perang Sabil-nya Tengku Cik di Tiro dikabarkan juga mengutip kitab tersebut.
Masalah jihad fi sabililiah sangat banyak dibicarakan Al-Palimbani.
Pada tahun 1772 M, ia mengirim dua pucuk surat kepada Sultan Mataram
(Hamengkubuwono I) dan Pangeran Singasari Susuhunan Prabu Jaka yang
secara halus menganjurkan pemimpin-pemimpin negeri Islam itu meneruskan
perjuangan para Sultan Mataram melawan Belanda.
Mengenai tahun wafatnya juga tidak diketahui dengan pasti. Al-Tarikh
Salasilah Negeri Kendah menyebutkan tahun 1244 H/1828 M. Namun
kebanyakan peneliti lebih cenderung menduga ia wafat tidak berapa lama
setelah meyelesaikan Sayr al-Salikin (1203 H/1788 M). Argumen mereka,
Sayr al-Salikin adalah karya terakhirnya dan jika dia masih hidup sampai
1788 M kemungkinan dia masih tetap aktif menulis. Al-Baythar – seperti
dikutip Azyumardi Azra – menyebutkan ia wafat setelah tahun 1200/1785.
Namun Azyumardi Azra sendiri juga lebih cenderung mengatakan ia wafat
setelah menyelesaikan Sayr al-Salikin, tahun 1788 M.
Karya Tulis Al-Palimbani
Tercatat delapan karya tulis Al-Palimbani, dua diantaranya
telah dicetak ulang beberapa kali, dua hanya tinggal nama dan naskah
selebihnya masih bisa ditemukan di beberapa perpustakaan, baik di
Indonesia maupun di Eropa. Pada umumnya karya tersebut meliputi bidang
tauhid, tasawuf dan anjuran untuk berjihad. Karya-karya Al-Palirnbani
selain empat buah yang telah disebutkan di atas adalah:
- Zuhrah al-Murid fi Bayan Kalimah al-Tauhid, ditulis pada 1178 H/1764 M di Makkah dalam bahasa Melayu, memuat masalah tauhid yang ditulisnya atas perrnintaan pelajar Indonesia yang belurn menguasai bahasa Arab.
- Al-’Uwah al-Wusqa wa Silsilah Ulil-Ittiqa’, ditulis dalam bahasa Arab, berisikan wirid-wirid yang perlu dibaca pada waktu-waktu tertentu.
- Ratib ‘Abdal-Samad, semacam buku saku yang berisi zikir, puji-pujian dan doa yang dilakukan setelah shalat Isya. Pada dasarnya isi kitab ini hampir sama dengan yang terdapat pada Ratib Samman.
- Zad al-Muttaqin fi Tauhid Rabb al-’Alamin, berisi ringkasan ajaran tauhid yang disampaikan oleh Syekh Muhammad al-Samman di Madinah.
Mengenai Hidayah al-Salikin yang ditulisnya dalam
bahasa Melayu pada 1192 H/1778 M, sering disebut sebagai terjemahan dari
Bidayah al-Hidayah karya Al-Ghazali. Tetapi di samping
menerjemahkannya, Al-Palimbani juga membahas berbagai masalah yang
dianggapnya penting di dalam buku itu dengan mengutip pendapat
Al-Ghazali dari kitab-kitab lain dan para sufi yang lainnya. Di sini ia
menyajikan suatu sistem ajaran tasawuf yang memusatkan perhatian pada
cara pencapaian ma’rifah kesufian melalui pembersihan batin dan
penghayatan ibadah menurut syariat Islam.
Sedangkan Sayr al-Salikin yang terdiri dari empat
bagian, juga berbahasa Melayu, ditulisnya di dua kota, yaitu Makkah dan
Ta’if, 1779 hingga 1788. Kitab ini selain berisi terjemahan Lubab Ihya’
Ulum al-Din karya Al-Ghazali, juga memuat beberapa masalah lain yang
diambilnya dari kitab-kitab lain. Semua karya tulisnya tersebut masih
dijumpai di Perpustakaan Nasional Jakarta.
wallohua'lam..
Jika anda menginginkan file PDF / file DOC nya silahkan unduh filenya disini. hanya di Gubuk Kata.