Pluralisme dalam terminologi ketiga ini menyatakan semua agama itu memiliki hakikat kebenaran. Islam yang monotheis benar. Kristen yang politheis juga benar. Dalam konteks ini, mungkinkah akal kita bisa menerima kebenaran dua hal yang kontradiktif ini? Mungkinkah Tuhan itu satu dan pada sat yang sama Tuhan itu tiga? Atau, bagaimana mungkin kita membenarkan atheisme dan pada saat yang sama membenarkan theisme? Mungkinkah Tuhan itu ada dan pada saat yang sama tidak ada ?
Arti kata pluralisme dari sudut pandang bahasa sangat mudah dipahami. Plural berartikan banyak jumlah. Aslinya, dalam konteks peradaban barat, kata pluralisme bermula dari adat-istiadat gereja pada abad-abad pertengahan. Diawal kemunculan istilah ini, seseorang yang memiliki banyak kedudukan gerejani (misalnya seorang pastor yang sekaligus politisi dan pedagang) disebut sebagai seorang pluralis. Dalam konteks kekinian, pluralisme memiliki pengertian yang berbeda-beda bergantung pada sudut pandangannya. Pengertian pluralisme secara politis, filsafat, sosial, dll.
Yang jelas, wacana pluralisme semakim diminati oleh banyak kalangan seiring dengan makin banyaknya konflik yang timbul di muka bumi ini. Sebagian besar konflik-konflik tersebut ditengarai sebagai akibat dari perbedaan agama atau mazhab. Untuk mengatasinya, ditawarkanlah sebuah solusi ilmiah bernama pluralisme agama. Pluralisme agama memberikan pesan untuk setiap umat manusia bahwa keyakinan kepada sebuah agama tertentu bukan alasan untuk menyalahkan agama lainnya. Pluralisme agama menyatakan bahwa kebenaran adalah milik bersama.
Allamah Mizbah Yazdi (Jurnal Kitab-e Naqd, Vol. 4), memberikan empat terminologi pluralisme serta mengkritisinya, sebagai berikut; Pluralisme adalah toleransi, Pluralisme berarti memandang sama sebagai satu hakikat, Pluralisme memandang bahwa hakikat itu banyak bentuknya, dan pluralisme berarti hakikat terdiri dari beberapa unsur dan masing-masing tersimpan dalam sebuah agama.
Pluralisme adalah Toleransi. Berdasarkan terminologi ini pluralisme artinya bahwa tidak seharusnya umat manusia saling memerangi. Hidup tentram dan tenang adalah harapan setiap umat manusia. Agama atau mazhab bukan kendala untuk hidup bertoleransi diantara para pemeluk agama yang berbeda.
Agama Islam sama sekali tidak menentang pluralisme sosial dalam pengertian ini. Bahkan Islam sangat menjunjung tinggi toleransi. Islam jelas-jelas menentang pemaksaan pendapat, apalagi bila dibarengi dengan kekerasan fisik. Setiap manusia berhak memilih pendapatnya sendiri, berhak memilih agama, partai atau mazhabnya sendiri, namun pada saat yang sama manusia juga harus menghormati orang lain yang memiliki pilihan berbeda dengan dirinya.
Dalam Islam, toleransi adalah konsep yang sangat mulia. Toleransi adalah norma dan etika yang bisa ditemukan pada kefitrian insani. Sebaliknya, perpecahan konflik, apalagi pertumpahan darah diantara umat beragama adalah sesuatu yang berlawanan dengan hati nurani. Ukuhuwah dan toleransi adalah pesan abadi Qurani yang berulang-ulang disampaikan oleh para Nabi serta Aimmah yang suci. Perhatikan ayat-ayat al-Quran yang menekankan pluralisme (dalam pengertian toleransi) berikut ini. "Allah tiada melarang kamu untuk berlaku adil serta berlaku baik terhadap mereka yang tidak memerangi kamu karena agama dan (terhadap mereka yang) tidak mengusir kamu dari rumahmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang yang adil". (al-Mumtahanah, ayat 8) Disini jelas bisa dilihat betapa Islam justru menekan keharusan berbuat adil diantara sesama manusia. Perbedaan agama bukanlah alasan untuk berbuat zalim. Jelas sekali bahwa keharusan berbuat adil dan berlaku baik terhadap orang lain yang berbeda keyakinan adalah pilar terpenting dari konsep pluralisme dalam pengertian toleransi. Pada ayat lain, al-Quran juga memerintahkan umatnya untuk mendengarkan perkataan atau pendapat orang lain. Dengan akalnya, manusia harus menentukan mana yang benar, dan ia dengan sendiri harus mengikuti kebenaran. "Sampaikanlah kabar gembira kepada yang mendengarkan perkataan dan mengikuti yang terbaik dari kata-kata itu; mereka itulah orang-orang yang mendapatkan bimbingan Allah; mereka itulah orang-orang yang menggunakan pikiran". (az-Zumar, ayat 17-18) Terbuka untuk mendengarkan kata-kata orang lain untuk sebelum akhirnya mengambil keputusan atau pilihan, jelas merupakan karateristik seorang pluralis dalam pengertian toleransi tadi. Pluralisme Memandang Sama sebagai Satu Hakikat Dalam pandangan ini, perbedaan antara agama-agama yang ada terjadi karena perbedaan interpretasi, bukan kerena perbedaan esensi agama itu sendiri. Oleh karenanya, kebenaran hakiki bukan milik satu golongan. Manusia terkadang memahami hakikat didalam agama Yahudi, terkadang juga memahaminya didalam agama lainnya. Setiap orang memahami hakikat agama sesuai dengan inteletualitas dan latar belakang kehidupannya. Tidak ada yang berhak mengklaim pemahaman pribadinya atas hakekat sebagai yang paling benar. Dalam pengertian ini, agama dianggap semata-mata rekayasa akal. Karena setiap orang memiliki akal, maka, berdasarkan akalnya masing-masing, mereka berhak menafsirkan hakikat. Terminologi kedua ini juga menjadikan hakikat sebagai sesuatu yang tidak dapat dipahami manusia sepenuhnya.
Islam jelas berkeberatan dengan konsep pluralisme dalam pengertian semacam ini. Contohnya, di beberapa ayatnya, Al-Quran menolak hakikat yang dipahami umat Kristen berkaitan dengan konsep anak Tuhan. Perhatikan firman Allah berikut: "(Al-Quran ini diturunkan) untuk mengingatkan mereka yang berkata, 'Allah itu berputra'. (Sebenarnya) tiada ilmu pada mereka tentang yang demikian itu, tidak juga pada nenek moyang mereka. Betapa buruknya kata-kata yng keluar dari mulut mereka. Apa yang meraka katakan itu dusta belaka". (al-Kahfi, ayat 4-5)
Pada ayat lain Allah berfirman: "Mereka berkata, '(Allah) Yang Pemurah itu mempunyai putra'. (Katakanlah) sungguh telah kalian kemukakan sebuah penghinaan yang dahsyat! Hampir-hampir langit terbelah karenanya, bumi membelah, dan gunung-gunung berhamburan". (Maryam, ayat 88-90).
Atas kritikan Quran ini, terminologi ini memberikan jawaban yang sangat absurd. Mereka bahkan tidak segan-segan menyatakan bahwa Al-Quran yang ada di tangan kita saat ini sama sekali bukan wahyu Tuhan melainkan hasil interpretasi para agamawan di zaman dulu. Karena itu, interpretasi mereka tersebut dilatarbelakangi pengetahuan sosial, fisik, dan natural yang terbatas dan sangat klasik. Sementara itu, kemampuan interpretasi manusia telah jauh berkembang. Maka, semestinya, interpretasi tentang hakikat dimasa sekarang ini jauh lebih maju dan oleh sebab itu, hasilnya harus jauh lebih baik.
Al-Quran perlu direvisi dan disesuaikan dengan masa sekarang. Kritikan al-Quran tadi pun menjadi tidak bermakna samasekali karena sebenarnya itu bukanlah asli kritikan dari Tuhan melainkan interpretasi Rasulullah terhadap kebenaran an sich. Sekarang, kita juga berhak melakukan interpretasi lain yang hasilnya pasti lebih baik. Interpretasi kita pun bukanlah hasil final. Kelak akan ada interpretasi lain yang lebih baik.
Begitulah seterusnya. Manusia tidak akan pernah sampai pada hakekat kebenaran. Manusia bahkan tidak akan mampu membuktikan hakekat kebenaran bahwa Tuhan itu ada atau tidak, apalagi kalau harus membuktikan bahwa Tuhan itu satu atau banyak. Sangat aneh dan absurd!
Pluralisme Memandang Hakikat banyak Wajah Berbeda dengan terminologi kedua (yang mengatakan hakikat itu satu dan terjawantahkan dalam berbagai agama yang merupakan hasil penafsiran seseorang terhadap hakikat tersebut), terminologi ketiga ini justru menyatakan bahwa hakikat itu banyak. Oleh karenanya, semua agama yang ada itu benar.
Untuk mengkritisi pernyataan tersebut amatlah mudah. Kita bisa menggunakan kaidah istihalah ijtima'an-naqidhain (prinsip non-kontradiksi). Kaidah logika ini menyatakan bahwa tidak mungkin sesuatu itu ada dan tidak ada pada saat yang bersamaan. Contoh sederhananya, tidak mungkin kita menyatakan bahwa kucing adalah bukan kucing.
Pluralisme dalam terminologi ketiga ini menyatakan semua agama itu memiliki hakikat kebenaran. Islam yang monotheis benar. Kristen yang politheis juga benar. Dalam konteks ini, mungkinkah akal kita bisa menerima kebenaran dua hal yang kontradiktif ini? Mungkinkah Tuhan itu satu dan pada sat yang sama Tuhan itu tiga? Atau, bagaimana mungkin kita membenarkan atheisme dan pada saat yang sama membenarkan theisme? Mungkinkah Tuhan itu ada dan pada saat yang sama tidak ada?
Pluralisme adalah Hakikat yang Terbagi Menurut terminologi keempat ini, agama tidak dapat dipahami sebagai sebuah keyakinan komprehensif. Sebuah agama hanyalah sebuah saham hakikat. Artinya, sebuah hakikat yang utuh itu terpecah-pecah, sebagiannya tersimpan didalam agama Islam, sebagian yang lain terdapat di dalam agama Kristen, dan sebagian lainnya terdapat pada agama-agama lainnya. Ringkasnya, tidak ada agama yang paripurna, yang terkumpul didalamnya sebuah hakikat yang utuh.
Kaum pluralis dalam menyikapi hal ini menawarkan sebuah pemahaman pluralisme agama. Dengan demikian, tanpa disadari, pluralisme agama menjadi sebuah "agama" baru yang diciptakan oleh manusia. "Agama" pluralislah yang paling benar diantara agama-agama yang ada..