Judul Buku: Rembulan Ungu
Penulis: Bondan Nusantara
Penerbit: Qanita
Cetakan: I, 2011
Tebal: 511 Halaman
Hasrat manusia atas harta, tahta dan wanita nampaknya tidak pernah beranjak dari masa ke masa. Meski zaman berganti, sistem sosial politik sudah bergeser, bahkan meski (konon) peradaban manusia sudah maju sekalipun. Syahwat atas ketiganya, tak pernah redup dan tetap melekat pada diri manusia.
Itulah salah satu kesimpulan yang didapatkan setelah membaca Rembulan Ungu, sebuah epik berlatar kerajaan Mataram pada masa Amangkurat I. Buku karya budayawan Yogyakarta, Bondan Nusantara, ini secara lugas dan jelas membeberkan lakon yang terjadi pada masa penuh gejolak tersebut.
Bukan hanya itu, kepiawan Bondan dalam mebubuhi cerita membuat novel setebal lima ratus sebelas halaman ini begitu penuh warna, terutama dengan kehadiran tokoh muda yang meski menjadi lurah prajurit Mataram, namun tetap bisa berpikir objektif dan bersikap ksatria bernama Panjalu.
Sebuah sikap yang tergolong nekad dan beresiko bagi seorang prajurit, ketika Mataram tengah dijejali para penjilat di sekeliling raja. Mereka hanya mengejar semat, drajat, dan kramat atau harta, pangkat dan kehormatan diri tanpa peduli nasib rakyat. Bulubekti atau pajak yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan negeri dipakai untuk kemewahan beralaskan kemukten diri.
Amangkurat I memang seorang raja yang lebih suka menuruti kata hati di tengah lidah beracun para penjilat yang hanya bisa berkata sendika dhawuh tersebut. Mereka tak berani mengingatkan raja meski melanggar kawicaksanaan, keadilan, dan kebenaran. Cara Amangkurat memerintah tak ubahnya raja Astinapura, Prabu Duryudana. Sedangkan kegilaannya mirip Rahwana.
Selain itu, berbeda dengan Sultan Agung yang merupakan ayahandanya, Amangkurat I semenjak naik takhta, justru bersahabat dengan kompeni Belanda. Bahkan, bersepakat saling membantu. Celakanya lagi, Amangkurat sering meminjam uang untuk kepentingan pribadi, termasuk keinginannya membangun keraton baru di Plered dan sebuah kolam besar.
Para pejabat istana sangat tahu, Amangkurat tidak akan pernah mengampuni siapa pun yang menentangnya. Maklum, sejak kecil ia memiliki sifat angkuh dan mau menang sendiri. Ketika menjadi raja, sifat buruknya semakin menjadi-jadi. Hal ini terlihat jelas dengan kematian selir yang dicintainya, Ratu Malang karena diracun. Ia menghukum para dayang, emban, dan prajurit jaga Keputren Wetan dengan cara membakar mereka hidup-hidup.
Galau dengan kondisi dan masa depan Mataram, suami-istri Pangeran Pekik dan Ratu Pandan yang merupakan paman sang raja sendiri, menggagas skenario rahasia demi terjadinya percepatan suksesi di kerajaan demi menyelamatkan Mataram dari kekuasaan adigang-adigung-adiguna atau kejam, sombong dan serakah yang telah membuat hidup rakyat menderita. Panjalu-lah yang kemudian terpilih sebagai kurir untuk menyampaikan gagasan tersebut kepada seorang demang Banyuwangi bernama Mangun.
Bernama asli Oie Ma Oen atau dalam lidah Jawa disebut Mangun, seorang Cina yang karena jasanya kemudian diangkat menjadi demang di Banyuwangi sekaligus bertindak sebagai pengawas lalu lintas perdagangan antara Ketapang dan Gilimanuk. Dari pernikahannya dengan Yin Ma, ia memperoleh seorang anak perempuan bernama Oyi, atau biasa disebut Rara Oyi. Seorang perawan sunthi atau gadis muda yang kini berusia 15 tahun.
Rupanya, Rara Oyi-lah yang menjadi “kartu truf” bagi skenario Pangeran Pekik. Kecantikan wajahnya yang nyaris sempurna, kulit tubuhnya putih bagai batu pualam, kedua matanya agak sipit berhiaskan sepasang alis melengkung bagai rembulan di hari pertama, hidungnya kecil mancung, bibirnya tipis, serta dagunya lancip, membuat siapapun yang memandang akan terpesona.
Demikian pula yang dialami Amangkurat ketika ia memandang Oyi, setelah diboyong ke Mataram. Sebagai seorang raja yang dikenal doyan perempuan, ia langsung tertarik untuk menjadikan Oyi sebagai selirnya. Apalagi kecantikan putri Ki Mangun ini jauh melebihi almarhum Ratu Malang yang paling cantik dan dikasihi.
Namun, kejutan menanti sang Amangkurat. Adipati Anom sang putra mahkota yang tampan, ternyata juga menaruh hati kepada Oyi bahkan mendapat balasan dari putri Banyuwangi tersebut dan keduanya pun menjalin kasih secara rahasia. Di tengah perebutan mendapatkan cinta dari gadis Tionghoa tersebut, awan gelap pemberontakan menggantung di langit Mataram, dan pertumpahan darah semakin sulit dielakkan.
Membaca karya seniman ketoprak ini, pembaca akan diajak bernostalgia dengan cerita-cerita dunia persilatan yang sempat populer di era 1990-an semisal Tutur Tinular, Saur Sepuh, Wiro Sableng, dan lain-lain. Selain itu, sebagai sebuah cerita yang mengambil latar masa lalu, buku ini juga memiliki kelebihan dibanding novel sejenis yaitu berisi fakta-fakta sejarah yang terpapar kuat di dalamnya. Walhasil, pembaca akan memiliki manfaat ganda membacanya; menikmati sebuah karya sastra seorang seniman panggung, dan menambah wawasan sejarah terutama pada masa Amangkurat I.
Selain itu, karakter para pejabat istana di sekeliling Amangkurat yang pintar menjlat dan menghalalkan segala cara agar memperoleh kekuasaan, sangat sulit bagi pembaca untuk tidak membandingkannya dengan kondisi kekinian kita. Meskipun tentu saja melalui cara-cara yang lebih canggih dengan politik pencitraan yang semakin menggila.