SELAMAT DATANG

أسلام عليكم ورحمةالله... مرحبا بكم



Monday, 28 May 2012

Mengenal Sang Mujahidin

Judul Buku: Jalan Jihad Sang Dokter
Penulis: Joserizal Jurnalis & Rita T. Budiarti
Penerbit: Qanita
Cetakan: I, 2011
Tebal: 310 Halaman

Nama MER-C (Medical Emergency Rescue Committee) belakangan menjadi identik dengan perang, bencana alam atau kejadian luar biasa lainnya di Indonesia. Setiap ada peristiwa-peristiwa tersebut, bendera MER-C mesti berkibar di dalamnya.

Namun, tentu saja keberadaannya bukan sebagai provokator atau laskar tambahan yang ikut berperang, sebaliknya kehadiran mereka di medan-medan konflik berperan sebagai tim medis yang menjalankan tugas-tugas kemanusiaan.

Lembaga yang dibentuk para alumni relawan Tual ini, dideklarasikan pada 14 Agustus 1999 di Jakarta. Berangkat dari pemikiran perlunya terbentuk sebuah tim medis yang lebih permanen sehingga penanganan kegawatdaruratan medis bisa lebih terkoordinasi. Mengingat selama ini, tim-tim bantuan medis serupa dibentuk secara dadakan, setelah bencana atau konflik meletus. Padahal kehadiran tim seperti ini sangat dibutuhkan para korban secara mendesak.

Lambangnya mengandung dua unsur, yakni bulan sabit merah sebagai simbol Islam, dan bola dunia yang berarti universal, rahmatan lil ‘alamin yang menjadi prinsip utama MER-C. Badan hukumnya berbentuk lembaga swadaya masyarakat dan berasaskan Islam. Para anggotanya merupakan relawan yang dalam setiap melakukan misi kemanusiaannya tidak dibayar (unpaid volunteers). Dan jika konflik dan bencana begitu identik dengan MER-C, maka ada satu nama yang saat ini begitu menyatu dengan lembaga ini; Joserizal Jurnalis ! 
Suami Dian Sulistiawati yang lahir pada tanggal 11 Mei 1963 ini memang dikenal sebagai konseptor sekaligus komandan lapangan MER-C. Jose- demikian ia akrab disapa- berasal dari keluarga pendidik. Jika ibunya, Zahara Idris, mengajar di IKIP Padang, ayahnya Jurnalis Kamil, menjadi dosen di Fakultas Pertanian Universitas Andalas, Padang. Keduanya memiliki latar belakang pendidikan agama yang kuat. Ia memiliki seorang adik perempuan yang terpaut dua tahun lebih muda darinya.

Masa kecil Jose habiskan di kompleks IKIP, Padang dan bersekolah di PPSP (Proyek Perintis Sekolah Pembangunan) yang jumlahnya sedikit di Indonesia pada waktu itu. Sekolah tersebut menggunakan sistem belajar sendiri berdasarkan modul-modul yang terdiri dari lembar kegiatan siswa, lembar kerja, lembar soal dan lengkap dengan kunci jawaban. Singkatnya, murid diajar untuk belajar sendiri dan menilai sendiri hasilnya, sebuah sistem yang mengajarkan dan menuntut kejujuran. Kejujuran, nampaknya sangat ditekankan betul oleh kedua orangtuanya. Jose tidak dituntut untuk meraih prestasi setinggi mungkin. Jose dituntut untuk menggapai prestasi dengan cara yang jujur. 

Prinsip tersebut dipegangnya secara erat. Karena itu pula, sewaktu kuliah di Fakultas Kedokteran UI, Jose memilih tidak bergabung dengan salah satu organisasi mahasiswa Islam yang cukup kuat di kampus. Dia tidak setuju dengan ulah sebagian mahasiswa yang menempatkan organisasi tersebut sebagai alat untuk memperoleh kekuasaan. Selain itu, ada beberapa anggotanya yang tidak konsisten. Mereka bicara tentang perjuangan Islam, tapi masih nyontek di kelas. (Halaman 64)

Selepas kuliah, kariernya sebagai dokter dimulai di Puskesmas Lubuk Buaya, Kecamatan Koto Tengah, Padang. Sedangkan Tual, sekitar 540 km kota Ambon, merupakan kawasan konflik yang pertamakali didatangi, tahun 1999. Setibanya di Tual, tepatnya di depan masjid al-Hurriyah, Jose bersama koleganya; Syafik dan Basuki langsung bekerja melakukan operasi minor meski dengan segala keterbatasan. Meja operasinya adalah teras Masjid, tanpa kasur, bahkan alas koran sekalipun. Beberapa kali mereka bekerja di bawah sorotan lampu senter karena aliran listrik sering mati. AC sering mati hingga sterilisasi kurang memadai. Pernah, Jose menemukan kasus korban yang tangannya putus terkena bom. Karena tidak ada alat, akhirnya dia menggunakan gergaji kayu untuk operasi tulang. Dia juga terpaksa menggunakan madu sebagai pengganti antibiotik.

Setelah Tual, Jose seperti “ketagihan” berjihad. Bersama koleganya di MER-C, ia terjun ke Aceh dan Yogyakarta. Bahkan, mereka melanglang buana ke berbagai negara yang dilanda konflik. Tercatat, tahun 2001 terjun ke Kandahar Afganistan, 2002 menjadi relawan dalam perang Irak, 2005 menangani korban gempa di Kashmir, Pakistan. Dan tahun 2009 terjun langsung ke “penjara terbesar” di dunia, Gaza Palestina. Atas sumbangan masyarakat Indonesia tim MER-C tengah membangun sebuah Rumah Sakit. Jika kelak berdiri, RS Indonesia itu akan menjadi RS pertama di Gaza Utara. (Halaman 302)       

Lalu, apa yang membuat seorang Josejurnalis seakan tak kenal lelah berjihad ? Menurut Jose kuncinya, lakukan sesuatu dengan ikhlas, dan selalu berusaha lebih keras untuk ikhlas, maka Allah akan mempermudahnya dengan mempertemukan orang-orang yang memiliki gelombang yang sama. Sebaliknya, jika dilandasi maksud buruk atau tidak tulus, sekalipun sudah duduk dan bicara panjang lebar, tetap saja seperti ada hijab yang menghalanginya. Tetapi ikhlas merupakan kondisi yang harus diusahakan, karena dia bisa juga menghilang. 

Membaca buku berjudul Jalan Jihad Sang Dokter ini, akan membawa pembaca mengikuti seluk-beluk perjuangan seorang aktivis kemanusiaan. Pengalamannya mempertaruhkan nyawa dengan menandatangani “kontrak kematian” saat memutuskan memasuki kawasan  konflik seperti Gaza, akan mampu menginspirasi dan mengobarkan semangat kemanusiaan pembaca.

Selain itu, ketika masyarakat Indonesia dilanda krisis figur yang layak dijadikan panutan, maka keberadaan sosok Joserizal beserta tim MER-C yang penuh keikhlasan dan tanpa pamrih dalam buku setebal tiga ratus halaman ini, seolah menawarkan pelita di tengah kegelapan yang pekat ini. 
Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment

Blogger Gadgets