ANALISISnews.com, 5 Oktober 2011
Judul Buku: Negara Paripurna; Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila
Penulis: Yudi Latif
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, 2011
Tebal: 667 Halaman
Sejak disahkan secara konstitusional pada 18 Agustus 1945, Pancasila dapat dikatakan sebagai dasar (falsafah) negara, pandangan hidup, ideologi nasional, dan ligatur (pemersatu) dalam perikehidupan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia. Singkat kata, Pancasila adalah dasar statis yang mempersatukan sekaligus bintang penuntun (leitstar) yang dinamis, yang mengarahkan bangsa dalam mencapai tujuannya.
Apa daya, beragam rezim yang telah maupun sedang berkuasa di negeri ini tidak ada satu pun yang benar-benar mampu mewujudkan sebagaimana diidealisasikan oleh nilai-nilai Pancasila. Entah karena Pancasila sendiri yang teramat tinggi “terbangnya” sehingga sulit dijangkau, atau justru karena minimnya tingkat keseriusan para penguasa untuk mengimplementasikan daya linuwih Pancasila itu sendiri.
Bahkan, semenjak bergulirnya reformasi 1998, citra Pancasila semakin terjun bebas seiring dengan lebarnya jurang pemisah antara nilai-nilai ideal yang dikandungnya, dengan realitas sosial yang terjadi. Selain itu, pemerkosaan atas makna Pancasila pada masa Orde Baru, yang ditafsirkan sekehendak penguasa dan tidak jarang menjadi alat represi, memunculkan phobia pada sebagian kecil kalangan masyarakat. Pancasila semakin menanggung beban berat di punggungnya.
Kondisi demikian rupanya memunculkan kegelisahan yang mendalam terhadap Yudi Latif, hingga lahirlah buku berjudul Negara Paripurna; Historisitas, rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila ini. Buku setebal enam ratus enam puluh tujuh halaman ini bisa jadi merupakan upaya dari penulis untuk meneguhkan kembali Pancasila sebagaimana fungsinya yang telah disebut di atas.
Dalam memulai buku ini, Yudi Latif menggunakan wacana ontologis terlebih dahulu. Mula-mula dengan lukisan geografis kepulauan Nusantara dalam perkembangannya sejak puluhan ribu tahun Sebelum Masehi. Di dalamnya, ia manapaki geologi kebudayaan dengan menceritakan juga evolusi kepercayaan masyarakat Nusantara, sejak dari kepercayaan lokal yang disebut animisme dan dinamisme hingga datangnya agama-agama dari luar yang dibawa oleh kaum imigran. Hal ini dilakukan Yudi, karena menurutnya terbentuknya ideologi Pancasila hanya bisa dipahami dalam konteks masyarakat majemuk dan multi agama. (Halaman 616)
Secara historis, konseptualisasi Pancasila melintasi rangkaian panjang tiga fase; “pembuahan”, “perumusan” dan “pengesahan”. Fase “pembuahan” setidaknya dimulai pada 1920-an dalam bentuk rintisan-rintisan gagasan untuk mencari sitesis antarideologi dan gerakan, seiring dengan proses “penemuan” Indonesia sebagai kode kebangsaan bersama (civic nationalism). Setiap fase, melibatkan partisipasi berbagai unsur dan golongan, sehingga Pancasila benar-benar dapat disebut sebagai karya bersama milik bangsa.
Fase “perumusan” dimulai pada masa persidangan pertama BPUPK dengan pidato Soekarno (1 Juni) sebagai crème de la crème-nya yang memunculkan istilah Panca Sila, yang digodok melalui pertemuan Chuo sangi In dengan membentuk “panitia Sembilan” yang menyempurnakan rumusan Pancasila dari pidato Soekarno dalam versi Piagam Jakarta (yang mengandung “tujuh kata”). Sedangkan fase “Pengesahan” dimulai sejak 18 agustus 1945 yang mengikat secara konstitusional dalam kehidupan bernegara. (halaman 39-40)
Semenjak itu, lima sila yang termaktub dalam Pancasila adalah; Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dalam kebijaksanaan permusyawaratan perwakilan, dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Kelima prinsip itu disebut Soekarno dengan Panca Sila. “sila artinya asas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi.”
Angka lima memang memiliki nilai keramat dalam antropologi masyarakat Indonesia, terutama Jawa-Muslim. “Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai Panca Indra. Pandawa pun lima bilangannya.“ ( Halaman 17) Urutan-urutan kelima sila itu menurut Soekarno merupakan urutan sequential, bukan urutan prioritas. Masing-masing sila di dalamnya merupakan satu kesatuan integral, yang saling mengandaikan dan saling mengunci.
Sebagai basis moralitas dan haluan kebangsaan-kenegaraan, pancasila memiliki landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang kuat. Setiap sila memiliki justifikasi historisitas, rasionalitas dan aktualitasnya, yang jika dipahami, dihayati, dipercayai, dan diamalkan secara konsisten dapat menopang pencapaian-pencapaian agung peradaban bangsa.
Dengan berjejak pada nilai-nilai moralitas ketuhanan seperti dinyatakan dalam sila pertama Pancasila, segera terbentang misi profetik yang diemban oleh agama sipil ini: mewujudkan kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan, konsensus secara bijaksana, serta keadilan sosial yang mengatasi tirani perseorangan dan golongan. (Halaman 120)
Dasar dari semua sila Pancasila adalah gotong royong; prinsip ketuhanannya harus berjiwa gotong-royong, bukan ketuhanan yang saling menyerang dan mengucilkan. Prinsip internasionalismenya harus berjiwa gotong-royong, bukan internasionalisme yang menjajah dan eksploitatif. Prinsip kebangsaannya harus bersifat gotong-royong, bukan kebangsaan yang meniadakan perbedaan atau menolak persatuan. Prinsip demokrasi harus berjiwa gotong-royong, bukan demokrasi yang didikte suara mayoritas atau minoritas elite penguasa-pemodal. Prinsip kesejahteraannya harus berjiwa gotong-royong, bukan visi kesejahteraan berbasis individualisme-kapitalisme, bukan pula yang mengekang kebebasan individu seperti dalam etatisme.
Meski demikian, dalam sila “keadilan sosial”-lah perwujudan paling konkret dari prinsip-prinsip Pancasila. Satu-satunya sila Pancasila yang dilukiskan dalam pembukaan UUD 1945 dengan menggunakan kata kerja “mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Prinsip keadilan adalah inti dari moral ketuhanan, landasan pokok perikemanusiaan, simpul persatuan, matra kedaulatan rakyat. (Halaman 606)
Kehadiran buku ini dimaksudkan sebagai sumber rujukan, dengan cara merekonstruksi alam pemikiran Pancasila seperti yang diidealisasikan oleh para pendiri bangsa. Usaha rekonstruksi ini dimaksudkan untuk merepresentasikan “tipe-tipe ideal” dalam pengertian Max Weber, yaitu suatu konstruksi ideal dari gagasan para pendiri bangsa yang berkaitan dengan Pancasila dan UUD sebagai turunannya, sebagai titik-tolak dan tolak ukur bagi penjabaran dan penyesuaian dalam perundang-undangan, pilihan-pilihan kebijakan, praktik kenegaraan, dan kehidupan kebangsaan dalam rangka menjawab tantangan aktual yang terus berkembang.
Namun, sebagaimana yang diingatkan Franz Magnis-Suseno dalam pengantarnya, buku ini jauh lebih daripada hanya sekitar ulasan Pancasila. Karena sebenarnya, buku ini sebuah kitab sejarah terjadinya dan berkembangnya bangsa Indonesia. Dengan menggali secara rinci “hitorisitas, rasionalitas dan aktualitas masing-masing sila Pancasila”. Dengan demikian, buku ini merupakan tambang emas bagi semua yang mau mengerti bagaimana Indonesia.