Judul Koran: Ngawur karena Ingin Tegak
Judul Buku: Ngawur Karena Benar
Penulis: Sujiwo Tejo
Penerbit: Imania
Cetakan: I, Februari 2012
Tebal: 248 Halaman
Menghibur
sekaligus mencerahkan. Jenaka tanpa harus melupakan persoalan bangsa.
Begitu kuat kecintaan dan kerinduannya terhadap sejarah masa lalu serta
budaya yang diwariskannya.
Sebesar kecintaannya terhadap negara sehingga
ia mau menghabiskan energinya untuk membedah beragam peristiwa
teraktual dengan sudut pandangnya yang beraneka.
Itulah kesan dan apresiasi atas sosok bernama Sujiwo Tejo dalam buku berjudul Ngawur Karena Benar ini. Berisi kumpulan tulisannya yang tersebar di berbagai media massa nasional seperti Jawa Pos, yang
memang secara rutin setiap hari Minggu, Presiden Jancuker, begitu ia
dijuluki di jejaring sosial twitter, ini didaulat menjadi penulis tetap
di rubrik “Wayang Durangpo”.
Entah
apa alasan tepatnya, mengapa ia memilih judul tersebut. Dalam
pengantarnya, pria kelahiran Jember lima puluh tahun silam ini
menyatakan ngawur karena benar adalah jurus terakhirnya setelah mentok
pada jurus-jurus lain yang konon sistematis, santun dan berbudi
pekerti. Namun, ternyata semuanya topeng belaka, yang hanya menyisakan
kepalsuan.
Keluar
dari pakem, nampaknya menjadi ciri khas dan semangat yang dikobarkan
oleh lelaki berambut gondrong ini. Hal demikian bukan hanya terbaca dari
komentar-komentarnya sebagaimana yang sering dilontarkan dalam sebuah
acara di televisi swasta nasional, namun juga melalui kicauannya dalam
jejaring sosial sebagaimana yang disebutkan di atas.
Semangat
yang sama akan kita lihat pada tulisan-tulisannya dalam buku setebal
dua ratus empat puluh delapan halaman ini. Tejo, berusaha menarik para
tokoh dalam pewayangan seperti Petruk, Limbuk, Bagong dan lain-lain, ke
dalam kehidupan dan persoalan Indonesia saat ini. Identitas dan
pengetahuannya mengenai dunia pewayangan, pastinya lebih dari cukup
mengingat ia seorang dalang.
Salah satu yang paling menarik diantara 37 tulisan yang terkumpul dalam buku inin adalah tulisan berjudul Sang Prabu Dipada’no Kebo.
Tejo, dengan lincah, meloncat-loncat antara isu paling mutakhir seputar
ulah para demonstran yang membawa kerbau bertuliskan SiBuYa, dengan
menggunakan nama-nama tokoh pewayangan semisal Prabu Yudistira dan
Duryudhana sehingga mampu mebuat pembaca seolah ziarah ke setting
pewayangan dengan cerita kekinian. Dengan tanpa mengaburkan substansi
persoalan.
Hampir
semua, kalau tidak semuanya, tulisan karya Dalang Edan dalam buku ini
memiliki gaya demikian. Penuh satire, dengan kosmologi dan para tokoh
pewayangan berbaur dengan isu kontemporer. Meski tanpa menyebut nama
secara langsung, tetapi pembaca tetap mampu menangkap siapa yang mejadi
topik pembicaraan. Hibridisasi masa lalu dan persoalan saat ini adalah
kekhasan yang dimilikinya.
Pengetahuannya
atas beragam disiplin keilmuan, seni rupa, musik, akting dan sastra
diperlengkap dengan latar belakang pendidikannya di dua jurusan ilmu
eksak: matematika dan Teknik Sipil, tidak lantas melunturkan keyakinan
dan kesan misterius dan klenik terhadap sosoknya tidak juga membuat ia
kehilangan kepercayaan terhadap kearifan nenek moyang.
Tejo,
misalnya begitu yakin dengan ramalan Jayabaya mengenai kebangkitan
Nusantara yang, menurutnya, tidak lama lagi sebagaimana dalam tulisannya
yang berjudul Menyongsong Ramalan Kedelapan Jayabaya. Ia bahkan berani menyebutkan tahun, yaitu 2012 sebagai sebuah titik balik kebangkitan tersebut.
Menelusuri
halamn demi halaman buku ini, membuat kita merasakan betapa uniknya
gagasan seorang Sujiwo Tejo. Dalam melihat sebuah peristiwa, ia selalu
mencoba memandangnya dari sudut pandang moralitas Jawa sebagaimana yang
dituturkan dalam dunia wayang. Kisah dan karakter tokoh dalam
pewayangan, baginya, seakan mampu memberi jawaban atas segala fenomena
yang terjadi saat ini.
Keberaniannya
menyatakan diri sebagai sosok yang “ngawur”, pada dasarnya hanyalah
sebuah sentilan terhadap peradaban modern yang pongah dengan menyebut
diri tercerahkan, namun ternyata berjalan dalam kegelapan. Sehingga
hanya mampu meraba-raba untuk mencari kebenaran. Di tengah masyarakat,
politik dan kebudayaan yang ngawur, membingungkan dan tak tentu arah,
justru cara berpikir yang dianggap miring alias ngawur itulah yang
sesungguhnya tegak.
Sumber..